Mbah Meneng
MBAH MENENG
Makam Mbah Meneng di Dusun Gayang, Prambontergayang, Soko, Tuban, Jawa Timur |
“Tegese Meneng Amangun Ening,
Ananira Manuksma Ing Rasa,
Rasa Karsa Sejatine,
Iku Suksmaning Samudra”
Arti diam: melaksanakan hening,
ke-ada-an diri tercerap dalam Rasa,
rasa kehendak sejati,
itulah sukma samudera (tirtha amerta).
MBAH MENENG
Beliau adalah sosok seorang yang alim, Beliau tidak mau
diketahui asal-usul dan silsilahnya. Bahkan nama pun tidak ingin diketahui.
Beliau hanya ingin dikenal dari peri-laku dan peri-hidupnya yang suci
lahir-batin. Beliau adalah seorang pertapa suci, yang batinnya jernih, bening
dan murni. Beliau blm Islam tapi sudah ber-Tauhid,(saat itu Islam blm
datang di bumi Jawa), Beliau sudah manunggal dengan Gusti,(sdh mencapai
tingkatan ma’rifatulloh) dan termasuk di antara waliyulloh.
Jaran (kuda) sembrani putih merupakan tunggangan Beliau.
Beliau dahulu mengutus Ki Dandang Wacono untuk babat alas
(hutan) papringan, yang kemudian menjadi wilayah Tuban. Hal ini Beliau lakukan
karena Beliau mendapat wisik (isyaroh) bahwa di wilayah alas papringan
(skrg jadi Tuban) akan kedatangan dan ditempati oleh para ulama’ dan auliya’
yang akan mengajarkan ajaran kebenaran dari Tuhan (ajaran Islam red.).
Wisik (isyaroh) yang Beliau terima itu berbarengan dengan
munculnya batu (watu) berlobang yang membentuk lafadz Bismillah.
Karena batu berlobang itu muncul secara tiba-tiba, tanpa diketahui
asal-usulnya, maka batu itu Beliau sebut sebagai Watu Tiban.
NB.
1. Batu
lafal Basmalah hingga kini masih ada dan utuh.
2. Batu tempat duduk saat Beliau
bertapa juga masih ada. Bekas duduk beliau di atas batu tersebut membentuk
cekungan yang dapat dilihat mata umum.
Tulisan ini disusun berdasarkan:
1) Wisik setelah membaca Serat Babad Tuban,
2) informasi lisan dari Sesepuh di Tuban,
3) peninggalan artefak batu pertapa dan batu lafal Basmalah,
4) cerita lisan dari penduduk sekitar Makam Mbah Meneng.
Ditulis
pada hari Kamis Legi, malem Jum’at Pahing, pukul 03.00 dinihari
Comments
Post a Comment